Tepat di samping lorong, terdapat ruangan berdinding putih. Di tengah ruangan, tersusun rapi buku-buku sejarah dan budaya. Rak baris pertama disusun dengan arah melawan jarum jam. Pertama menampilkan sejarah kota -Surabaya-, kemudian bergerak ke kepulauan (Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua), hingga pembabakan zaman Indonesia. Dari pra-kolonial, kolonial, era revolusi dan perjuangan kemerdekaan (alias “zaman bergerak”), 1965-1966, Orde Ba(r)u, dan Reformasi. Kemudian kita memasuki wilayah yang lebih besar; Asia Tenggara, kemudian Asia, dan dunia. Dibawahnya, tersusun dengan mengikuti kode Dewey, buku-buku Ilmu Informasi & Komputer, Filsafat, Agama & Kepercayaan, ilmu sosial (sosiologi, politik, budaya), bahasa, dan ilmu alam.
Di rak besar yang terpisah merapat ke dinding, buku-buku sastra dan fiksi disusun berdasarkan abjad nama akhir pengarang. Misalnya novel Eka Kurniawan ada di bagian K, novel Okky Mandasari di bagian M. Teori sastra, film, dan seni juga mendapat rak khusus. Di bagian belakang ruangan, buku-buku desain, arsitektur, berdampingan dengan koleksi komik yang dijamin membuat betah; mulai dari Doraemon, hingga The Art of Charlie Chan Hock Chye yang meraih berbagai penghargaan dan menceritakan tentang sejarah Singapura. Ada pula Maus tentang Holocaust, Palestina dan Catatan Kaki dari Gaza oleh Joe Sasco, Red Rosa mengenai Rosa Luxemburg, dan sebagainya. Judul-judul buku tersebut dapat dilihat pada katalog online, bahkan beberapa tersedia dalam bentuk PDF.
Dua pengunjung duduk di depan meja baca sambil mengerjakan sesuatu di notebook masing-masing. Dua pengunjung lain saling berfoto dengan latar belakang buku yang tersusun di rak. Beberapa pengunjung lain tampak asyik membaca. Penampilan C2O Library & Collabtive dari luar tampak seperti rumah biasa. Tidak ada spanduk, banner, apalagi baliho mentereng berisi penjelasan tempat apakah ini. Cuma ada 3 lembar kain katun bekas tas slempang yang masing-masing bertuliskan satu huruf C 2 O. Konon nama C2O ini berasal dari utak-atik alamat awal tempat ini berada, Jl. Dr. Cipto 20. Para pengunjung mengenalnya sebagai perpustakaan C2O (C Dua O).

What?! Perpustakaan? Hari gini?! Bukankan sekarang informasi mudah didapatkan dari Google? Bukankah lebih menguntungkan menjual asesoris impor secara online atau bisnis food truck yang menyediakan korean street snacks? Kalaupun memang perpustakaan, kok ada band performance segala? Apa anak band dan audiens-nya ngga takut ditimpuk pena oleh Nicolas Saputra… eh, Rangga maksudnya? ;p
Keberadaan C2O tidak lepas dari salah satu angan Kathleen M. Azali -alias kat- membangun perpustakaan sebagai ruang belajar dan bekerja bersama di tengah sulitnya mencari materi referensi dan buku rujukan berkualitas di Surabaya. Sebelum C2O, bangunan di Jl. Dr. Cipto 20 itu adalah perpustakaan desain yang dikelola kakaknya. Namun karena kesibukan kakaknya, kat mengambil alih dan menambahkan sekitar 2.000 judul buku yang dikepul dan dipilah dari koleksi pribadi, teman-teman, keluarga, kelompok studi, panggilan donasi buku, dan lain sebagainya. Melalui website, dipasang informasi mengenai cara menyumbangkan buku.
Hingga sekarang, C2O masih sering mendapatkan donasi buku-buku. Dapat dikatakan cara membangun koleksi seperti ini semacam crowdsourcing untuk mengumpulkan dan mengelola bersama buku-buku berkualitas, yang bagaimanapun kita tahu bagaimana kesulitan mendapatkannya di Indonesia. Eh, sulit bagaimana? Pernah coba cari buku-buku pemenang penghargaan sastra, atau judul-judul yang masuk dalam “daftar buku yang perlu Anda baca” di toko buku Indonesia? Gampang ngga menemukannya? Itulah, pasar buku di Indonesia konyolnya memberi kita kondisi sulit untuk mencari buku bagus. Belum sistem perpajakannya. Tapi ya itu topik pembahasan untuk artikel lain…