C2O tidak memisahkan membaca dari perkembangan teknologi. Pun tidak menyalahkan gadget atas rendahnya “minat baca”. Teknologi selalu berkembang. Digitalisasi memang seolah semakin menggerus artefak-artefak fisik ilmu pengetahuan. Toko-toko buku (yang dahulu) besar mulai menghapus kata ‘buku’ di logonya. Asesoris komputer mulai menempati ‘tahta’ yang dahulu biasa diduduki buku-buku baru dan best seller. Namun bagaimanapun, buku adalah wadah informasi. Jangan lupa bahwa sebelum ada buku, terlebih dahulu ada pertemuan, interaksi, dan dialog. Baru kemudian hasil pengetahuan tersebut dibukukan. Proses membaca pun terus berubah wadahnya, mulai dari di atas batu obelisk, daun lontar, hingga di atas kertas dan di layar.
Menyalahkan kemajuan teknologi sebagai biang kerok minimnya minat baca bukanlah solusi untuk meningkatkan minat baca itu sendiri. Dalam melihat isu “rendahnya minat baca” orang Indonesia, sangat penting bagi kita untuk tidak mengalihkan tanggungjawab. Fokus pada kebobrokan sistemnya, jangan malah menyalahkan “korbannya”, seolah-olah orang salah bila ia belum membaca judul-judul penting. Ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan. Antara lain ketimpangan industri, distribusi dan perpajakan buku, penegakan hukum yang tidak konsisten, serta keterbatasan penggunaan bahasa daerah dalam pergaulan sehari-hari. Menurut Agus M. Irkham dalam buku Gempa Literasi, saat ini komunitas literasi (atau pembaca) telah memasuki generasi ketiga (3.0). Komunitas ini memasuki entri literasi tidak terbatas pada baca-tulis, apalagi ‘buku’. Ciri paling kentara adalah menjadikan ikon budaya pop -musik, nonton, jalan-jalan, bermain, film, fotografi, internet, game online, animasi, ngobrol- sebagai titik pijak gerakan. Nah… seberapa berubah dengan sekarang?
Riset lima tahunan Progress in International Reading Society (PIRS) mengatakan bahwa salah satu realitas yang menyebabkan rendahnya minat baca adalah pengalaman pra-membaca dan membaca yang kurang menyenangkan. Dalam konteks perpustakaan, bagaimana masyarakat bisa tertarik untuk datang adalah pekerjaan rumah para pustakawan dan penggiat literasi. C2O selama ini juga memberi perhatian dalam menata ruangan perpustakaan agar tampak nyaman, dilengkapi dengan berbagai fasilitas penunjang seperti akses internet, print, scan, dan copy. Serta membuat rencana melakukan digitalisasi naskah-naskah kuno dan koleksi yang sulit didapat.
Melewati usianya yang kesembilan, C2O telah memiliki koleksi lebih dari 7.000 judul buku dan anggota tetap sebanyak 1.131 orang (berdasarkan data pada akhir Juni 2017. Perpustakaan dan acara-acaranya total telah dihadiri ratusan ribu pengunjung. Aktivitas literasi di dalamnya bukan hanya membaca, mencari atau menumpuk buku, dan kemudian menyewakannya. Tetapi juga bagaimana perpustakaan dapat menjadi infrastruktur untuk mengolah berbagai informasi pengetahuan melalui buku, gawai, event, hingga cangkruk. Karena pada akhirnya literasi bukan hanya membaca kata, tapi juga membaca dunia, agar kita dapat memahami dan menyarakan ulang kepentingan, kebutuhan dan sejarah kita.